Wednesday, February 18, 2009

DUNIA TANPA SIMBOL

Sebagai manusia, kita terbiasa dengan kondisi yang udah ada saat ini. Wajah sih, namanya juga manusia. Dalam diri manusia, selalu ingin hidup santai. Take it easy. Kata orang, hidup udah susah, ngapain dipersulit lagi. Bikin pusing otak aja!

Padahal! Kalo kita mau sedikit mikir, ada banyak hal yang akan aneh kalo nggak eksis. Dalam note ini, hal yang gw maksud adalah simbol. Simbol? Yes! Kita memang nggak sempat berpikir jauh soal bantuan simbol dalam kehidupan kita. Aspek-aspek kehidupan kita udah terbantu oleh hal yang bernama simbol ini. Nggak bisa dipungkiri lagi, simbol juga membantu hidup para pemilik usaha, terutama produk-produk konsumtif.

“Terbayang nggak loe dunia tanpa simbol?” kata temen gw yang kerja di sebuah Agency Periklanan.

“Nggak! Ngapain gw bayangin? Ngabisin waktu aja! Mending gw ngurusin ketek gw yang udah mulai bau lagi. Padahal gw udah kasih deodoran berkali-kali. Deodorannya pun udah segala merek, Cin! What’s wrong with my ketek ya?”

“Lah, itu mah urusan elo! Mungkin ketek loe kudu disekolahin dulu kali!”

“Bener juga loe. Emang ketek loe sempat disekolahin, Cin?”

“Sempet dong, Cin! Sekolah sampe S3!”

Intermezo dikit, bo! Soalnya kita ngebahas simbol yang rada berat. Memang nggak seberat politik dan ekonomi sih. Back to simbol! Nah, sekali lagi simbol itu sangat membantu. Mari gw ambilkan contoh. Simbol di toilet yang menggambarkan “kepala pria” dan “kepala wanita” itu sngat penting. Bisa bayangkan kalo toilet tanpa simbol dua “kepala” itu? Pasti banyak cowok dan cewek yang nyasar. Cowok ke toilet cewek, sebaliknya cewek masuk ke toilet cowok.

Contoh simbol “kepala” di toilet kelihatannya sepele sih, tapi penting banget. Wong kadang-kadang, udah ada simbol “kepala” aja masih banyak yang nyasar masuk kok, ya nggak? Elo pernah kan nyasar? Ngaku deh! Padahal simbolnya udah jelas, simbol “kepala wanita” adalah seseorang yang rambutnya panjang atau pakai konde. Bibir orang ini pun diberi ketebalan warna. Itu maksdnya lipstik. Sementara penggambaran sosok pria di simbol “kepala pria” adalah berambut pendek dan bibirnya tanpa diberikan ketebalan warna.


Ini lebih cocok disebut sign atau tanda. Tanda sebuah batas antara Kelurahan A dengan Kelurahan B. Dikasih tanda supaya nggak gontok-gontokan soal wilayah masing-masing. Jangan sampai Lurah A minta dana ke warga yang seharusnya ada di wilayah Lurah B. Kalo terjadi, bisa-bisa perang antarwarga.


Beda kalo yang masuk toilet itu Waria. Manusia berjenis kelamin Waria ini memang gokil. Doi lebih nyaman masuk ke toilet bersimbol “kepala wanita”. Soalnya, doi merasa dunianya udah dunia wanita, meski Titit si Waria masih belum dipotong. Lagipula si Waria ini udah terbiasa kencing duduk kayak perempuan. Kalo si Waria masuk ke toilet bersimbol “kepala pria”, takut Tititnya dilihat sama pria-pria lain dan dikomentari. “Kok Tititnya kecil sih?” atau “Kok Tititnya belum dipotong sih?”

Simbol di toilet adalah contoh sederhana betapa simbol memberi peranan penting dalam kehidupan. Masih nggak percaya juga soal pentingnya simbol? Mari gw kasih contoh lagi. Sekarang elo bayangin simbol-simbol di jalan raya dihapus. Nggak ada lagi simbol “S coret” sebagai tanda dilarang parkir atau “P coret” sebagai simbol dilarang parkir, atau “U turn” sebagai tanda kendaraan boleh memutar balik, dan simbol-simbol lainnya. Apa yang terjadi? Yakin deh, dunia persilatan eh salah perlalulintasan akan kacau balau. Mobil akan seenaknya parkir di bawah tanda “P coret”. Mikrolet seenaknya berhenti di tanda “S coret”.

Traffic light gw anggap masuk dalam kategori simbol. Kenapa? Warna-warna yang ada di traffic light menunjukan simbol di dunia lalu lintas. Di seluruh dunia, udah disepakati bersama kalo di traffic light berwarna merah, itu tandanya kendaraan kudu berhenti. Lalu warna hijau, kendaraan boleh jalan. Sedang warna kuning, bisa dua arti. Arti pertama, siap-siap warna akan berganti jadi hijau. Ini kalo warna sebelum warna kuning adalah merah. Kalo warna sebelum warna kuning hijau, maka arti kuning setelah hijau maksudnya hati-hati warna akan berganti merah. Bingung?

Sebenarnya sih disiplin berlalulintas Manusia Indonesia, nilainya masih di angka 5. Ada nggak ada simbol, Angka ini sebenarnya masih mending dibanding angka 4. Padahal kalo harusnya angkanya memang 4. Separah itukah? Gw bisa berteriak: YES! Disiplin berlalulintas kita baru pada tahap kucing-kucingan. Maksudnya, kalo ada Polisi kita disiplin, kalo nggak ada jadi berprilaku primitif. Ironisnya, ada Polisi pun kadang para pengendara masih nekad menunjukan diri dalam hal ketidakdisiplinan mereka. Gokil nggak sih?

Di perempatan rumah gw, lampu merah udah nggak dianggap, Cin. Baik motor maupun mobil seenaknya menerobos traffic light. Apalagi Metromini atau Angkot, wah nggak perlu ditanya lagi, pasti menerobos, Cin. Polisi kadang ada, kadang nggak ada di situ. Lebih banyak nggak adanya sih. Kalo ada pun, nggak dianggap. Polisi lebih sibuk dengerin suara-suara yang keluar dari handy talky (HT) ketimbang ngurisin lalu lintas.

Sekarang dah ngerti kan kalo simbol itu penting dalam kehidupan kita? Nah, ada sebuah pemikiran yang gw ambil dari buku “Estetika: Sebuah Pengantar Filsafat Keindahan” karya DR. Matius Ali, M. Hum. Pemikiran filusuf asal Inggris: Susanne K. Langer yang mementahkan contoh gw di atas tadi. Lho kok?


Ini simbol Manusia yang punya dompet kurang uang. Kenapa? Yaiyalah, di dompetnya cuma tinggal selembar uang 50 ribuan. Sisanya cuma recehan. Padahal tanggal masih menunjukan tanggal 19. It means, gajian masih lama, bo!


Susanne membedakan antara tanda dan simbol. Tanda atau bahasa sononya sign itu dipakai buat menyatakan suatu hal, peristiwa, atau keadaan. Tanda merujuk pada objek. Antara tanda dan objek saling berhubungan. Ada dua macam tanda (1) tanda alamiah dan (2) tanda buatan.

Asap adalah contoh tanda alamiah. Penjelasannya begini, kalo kita melihat asap, itu tandanya bermacam-macam: air yang dimasak udah mendidih, ada kebakaran di hutan, ada orang merokok di dalam WC, dan contoh lain. Sementara contoh tanda buatan adalah peluit. Wasit yang meniupkan peluit di menit pertama maksudnya memberikan tanda ke para Pemain sepakbola agar memulai pertandingan. Semua Pemain pasti udah faham itu. Kalo ada Pemain yang nggak ngerti tanda bunyi peluit, itu namanya Pemain tolol.

Sekarang gimana dengan simbol? Simbol lebih merujuk pada konsep. Maksudnya, butuh pemikiran buat memahaminya. Ada makna denotatif maupun konotatif di dalam sebuah simbol. Beda dengan tanda yang cuma punya satu makna, yakni makna denotatif aja. Ngerti kan maksud makna denotatif dan konotatif? Itu pelajaran SMP kalee! Yasud, gw terangin lagi.


Kalo ada akronim "HD" itu tandanya Harley Davidson. HD udah jadi simbol biker sejati. Mereka yang pakai motor bermerek HD, udah pasti berjiwa biker. Nggak mungkin berjiwa Rinto Harahap atau Pence Pondaan. Saking mengkultuskan HD, banyak Manusia yang rela mentato diri simbol HD. Nggak cuma di lengan, tapi ada yang mentato jidat, dan di pantat.


Makna denotatif itu makna sesungguhnya. Maksudnya kalo kita melihat Maryln Monroe, kita akan memaknai Marlyn sebagai seorang wanita yang bernama Marlyn Monroe. Nah, kalo makna konotatif, kita akan memaknai Marlyn Monroe sebagai wanita seksi dan bintang Hollywood. Ngerti? Gw kasih contoh lagi ya? “Merah”, misalnya. Kalo makna denotatif, “merah” cuma dimaknai sebagai warna yang berwarna merah. Tapi kalo kita memaknai “merah” dalam konotatif, itu artinya “berani”.

Menurut Susanne, ada dua macam simbol. Simbol Diskursif dan Simbol Representasional. Simbol Diskursif adalah simbol rasional atau yang dapat dimengerti oleh nalar kita. Simbol ini biasanya terungkapnya secara bertahap. Misalnya “S Coret”. Kalo di frame cuma ada “S Coret”, itu sebuah tanda “dilarang stop”. Namun kalo pada frame berikutnya, ada seorang Wanita jalan dan berdiri di “S Coret”, itu akan melahirkan sebuah Simbol Diskursif. Coba tebak maksud adegan itu apa?


Simbol M kayak begini udah pasti tempat sasana tinju. Kok tinju? Soalnya, Manusia kudu berantem dengan emosinya. Di satu sisi kudu menjaga kesehatan, karena udah janji nggak makan fast food. Di sisi lain kudu berantem dengan perut yang keroncongan. Siapa yang menang? Bertinjulah sang emosi dan perut yang keroncongan itu.


Simbol Representasional yang lebih absurd dan subjektif. Kita yang mau coba memahami, perlu berkali-kali melihat. Sebagai contoh, lukisan-lukisan abstrak, ekspresionis, atau sur-realis. Buat elo yang bukan penggemar lukisan, pasti bakal kecewa melihat lukisan kayak cakar ayam. Nggak jelas! Absurd! Isi lukisan di kanvas cuma garis-garis atau cipratan-cipratan cat minyak. Padahal, si Pelukis bukan nggak bisa melukis. Garis-garis itu pasti punya makna simbolik.

Lain Susanne, lain Douglas Atkin. Menurut Direktur Strategi Agency Merkley and Partners dalam buku The Culting of Brands: When Customers Become True Believers ini, simbol adalah merek. Merek adalah simbol. Ini kok dibolak-balik? Piye? Udah jangan marah-marah! Mari kita lanjutkan. Simbol bukan sekadar sebuah ikon sederhana kayak salib, bintang, atau patung Buddha berperut besar. Simbol lebih seperti sebuah jejaring tanda-tanda yang terikat secara bersama membentuk keseluruhan makna.


Supaya menancapkan simbol atau merek ke otak Customer, salah satu resto membuat tulisan di cream kopi. Kreatif? Iya. Sama kreatifnya ketika resto ini membuat promosi via SMS yang mengelabui gw. Dibilang diskon 50%, eh ternyata cuma berlaku buat makanan tertentu. Udah gitu pesannya pun kudu di atas berapa puluh ribu. Dasar!


Tambah Atkin, merek telah menjadi tanda individual identitas manusia. Merek telah menjadi sesuatu yang begitu penting bagi representasi kultural. Ibarat kata, manusia rela “merajah” tubuh mereka dengan merek tersebut. Inilah yang dimaksud Atkin ujung-ujungnya “mengkultuskan” merek. Maksudnya? Begini, mohon maaf kalo rada sombong, gw kalo beli jins pilihannya cuma dua: Levi’s atau Lea. Kalo lagi punya duit banyak, ya Levi’s. Terserah mau yang serinya 501 atau 505 atau seri lain. Itu kalo punya duit. Tapi kalo duitnya cekak, ya pilihannya Lea. Kalo bener-bener nggak punya duit tapi nggak punya jins? Ya pake celana dalam aja kali, bo!

Nah, sekarang udah pada bingung kan soal simbol? Pokoknya, elo bisa simpulkan sendiri dari pendapat-pendapat di atas. Kalo gw tetap pada pendirian. Tanda-tanda di sekitar kita itu masuk kategori simbol. Simbol yang maknanya lebih denotatif alias mudah dimengerti. Begitu pula kalo elo melihat gambar “kerang” warna kuning, itu simbol Shell.

“Kalo gambarnya kayak kapal selam kecil berwarna kuning?”

“Ngambang nggak?”

“Ngambang di kali. Itu simbol apa hayo?”

“Itu mah tokai kaleeeee!!!!”


all photos by Brillianto K. Jaya

No comments:

Post a Comment